Pengertian dan Tujuan Agama Hindu

Posted: April 20, 2011 in Culture

Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah “Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma”, yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.

Agama sebagai pengetahuan kerohanian yang menyangkut soal-soal rohani yang bersifat gaib dan methafisika secara esthimologinya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari kata “A” dan “gam”.  “a” berarti tidak dan “gam” berarti pergi atau bergerak. Jadi kata agama berarti sesuatu yang tidak pergi atau bergerak dan bersifat langgeng. Menurut Hindu yang dimaksudkan memiliki sifat langgeng (kekal, abadi dan tidak berubah-ubah) hanyalah Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Demikian pula ajaran-ajaran yang diwahyukan-Nya adalah kebenaran abadi yang berlaku selalu, dimana saja dan kapan saja.

Berangkat dari pengertian itulah, maka agama adalah merupakan kebenaran abadi yang mencakup seluruh jalan kehidupan manusia yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi dengan tujuan untuk menuntun manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup yang berupa kebahagiaan yang maha tinggi dan kesucian lahir bathin.
Tujuan Agama Hindu

Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah “Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma”, yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.
Dharma berarti kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup  manusia. Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti kesenangan sedangkan Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi atau pelepasan.
Di dalam memenuhi segala nafsu dan keinginan harus berdasarkan atas kebajikan dan kebenaran yang dapat menuntun setiap manusia di dalam mencapai kebahagiaan. Karena seringkali manusia menjadi celaka atau sengsara dalam memenuhi nafsu atau kamanya bila tidak berdasarkan atas dharma. Oleh karena itu dharma harus menjadi pengendali dalam memenuhi tuntunan kama atas artha, sebagaimana disyaratkan di dalam Weda (S.S.12) sebagai berikut:
Kamarthau Lipsmanastu

    dharmam eweditaccaret,

    na hi dhammadapetyarthah

    kamo vapi kadacana.

Artinya:

Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka hendaknyalah dharma dilakukan terlebih dahulu. Tidak dapat disangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti. Tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.
Jadi dharma mempunyai kedudukan yang paling penting dalam Catur Purusa Artha, karena dharmalah yang menuntun manusia untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Dengan jalan dharma pula manusia dapat mencapai Sorga, sebagaimana pula ditegaskan di dalam Weda (S.S.14), sebagai berikut:
Dharma ewa plawo nanyah

    swargam samabhiwanchatam

    sa ca naurpwani jastatam jala

    dhen paramicchatah

Artinya:

Yang disebut dharma adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga,  sebagai halnya perahu yang merupakan alat bagi saudagar  untuk mengarungi lautan.
Selanjutnya di dalam Cantiparwa disebutkan pula sebagai berikut:


Prabhawar thaya bhutanam

    dharma prawacanam krtam

    yah syat prabhawacam yuktah

    sa dharma iti nicacayah

Artinya:

Segala sesuatu yang bertujuan memberi kesejahteraan dan memelihara semua mahluk, itulah disebut dharma (agama), segala sesuatu yang membawa kesentosaan dunia itulah dharma yang sebenarnya.
Demikian pula Manusamhita merumuskan dharma itu sebagai berikut:

“Weda pramanakah creyah sadhanam dharmah”

Artinya:

Dharma (agama) tercantum didalam ajaran suci Weda, sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan hidup, bebasnya roh dari penjelmaan dan manunggal dengan Hyang Widhi Wasa (Brahman).
Weda (S.S. 16) juga menyebutkan :


Yathadityah samudyan wai tamah

    sarwwam wyapohati

    ewam kalyanamatistam sarwwa

    papam wyapohati

Artinya:

Seperti halnya matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, memusnahkan segala macam dosa.
Demikianlah dharma merupakan dasar dan penuntun manusia di dalam menuju kesempurnaan hidup, ketenangan dan keharmonisan hidup lahir bathin. Orang yang tidak mau menjadikan dharma sebagai jalan hidupnya maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan tetapi kesedihanlah yang akan dialaminya. Hanya atas dasar dharmalah manusia akan dapat mencapai kebahagiaan dan kelepasan, lepas dari ikatan duniawi ini dan mencapai Moksa yang merupakan tujuan tertinggi. Demikianlah Catur Purusa Artha itu.

Sejarah Agama Hindu

Posted: April 20, 2011 in Uncategorized

Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.

Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.
Penampilan agama Hindu yang memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan upacaranya mengakibatkan banyak para ahli yang menuliskan tentang agama ini tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama Hindu.

Sebagai Contoh: “Masih banyak para ahli menuliskan Agama Hindu adalah agama yang polytheistis dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak mengenakkan, serta merugikan agama Hindu”.

Disamping itu di kalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang menyimpang serta pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya terhadap agama Hindu.
Agama Hindu di India

Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa-dewa.

Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut “Rta”. Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya “Tata Cara Upacara” beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama “Sidharta”, menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.

Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.
Masuknya Agama Hindu di Indonesia

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.
Krom (ahli – Belanda), dengan teori Waisya.

Dalam bukunya yang berjudul “Hindu Javanesche Geschiedenis”, menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
Mookerjee (ahli – India tahun 1912).

Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
Moens dan Bosch (ahli – Belanda)

Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.
Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:
Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):

Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
Prasasti Porong (Jawa Tengah)

Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.
Agama Hindu di Indonesia

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman”. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.
Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu”
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: “Sruti indriya rasa”, Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada  ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan  menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Ni Diah Tantri 1

Posted: April 20, 2011 in Culture

Ceritra Tantri memang sudah dari lama dikenal di Bali, baik dalam bentuk prosa maupun puisi, yang memakai basa Bali dan Jawa tengahan. Di dalam masyarakat Bali kita mengenal tiga macam Tantri, yakni Tantri Kamandaka, Tantri Manduka Harana, dan Tantri Pisaca Harana.

Ketiga Tantri tersebut merupakan bentuk kesusantraan (puisi) yang memakai bahasa Jawa tengahan. Penulis mencoba menceritrakan Tantri yang diambil dari bentuk prosa dan puisi Tantri Kamndaka yang mengambil ceritra pertempuran Singa dan lembu Nandaka.

Ceritra ini kami ceritrakan dengan gaya bebas dengan bahasa Indonesia. Sudah barang tentu dalam tulisan ini banyak yang tidak sesuai dengan selera pembaca .Untuk itu penulis mohon dimaafkan. Semoga ceritra ini ada gunanya.

Denpasar ,1999.Penulis I Wayan Tapa

 NI DIAH TANTRI I

Diceritakan seorang raja di negeri Patali, beliau amat dihormati oleh para raja yang ada ditanah Jambuwarsa. Setiap tahun tidak lupa menghaturkan upeti/pajak kepdaja sang raja. Beliau raja yang gagah perkasa, berwibawa dan bijak. Pada waktu pemerintahan beliau tak ada masyarakat yang berbuat jahat, semua patuh akan perintah sang raja. Negeri Patali makmur dan sejahtra. Beliau terkenal bernama Eswaryadala. Beliau didampingi oleh patih yang amat bijak bernama Bande Swarya. Ia selalu patuh menjalankan perintah sang raja, disertai para punggawa.Pembantu sang raja semua pandai dan bijaksana melaksanakan roda pemerintahan, sesuai dengan sastra Agama, Kutara dan Manawa.

Sang Patih mempunyai seoarang putri bernama Ni Diah Tantri. Kecantikannya tersohor ke pelosok negeri. Semua gadis di negeri itu maupun di Jambuwarsa tak ada yang menyamai. Demikian juga akan kesohorannya dalam ilmu pengetahuan. Beliau dipuji oleh masyarakat maupun oleh para pendita. Hal ini didengar juga oleh sang Raja Eswaryadala.

Beliau lalu berkehendak menjadikan Ni Diah Tantri pramesuari kerajaan, tapi beliau malu mengungkapkan hal itu pada Patih Bande Swarya. Beliau lalu mencari upaya. Para punggawa, para pendeta utama dan Patih Bande Swarya diundang menghadap ke balai pertemuan. Sang raja megutus Patih Bande Swarya supaya menghaturkan seorang gadis remaja tiap hari ke istana yang akan dijadikan selir. Sang Patih tidak berani menolak, setiap hari ia menghaturkan seorang gadis remaja ke puri.

Lama-lama habislah para gadis remaja yang cantik diaturkan ka istana Hal itu membikin sang Patih Bande Swarya sedih, memikirkan siapa yang akan diaturkan besok ka istana. Sampai di karang kapatihan sang patih masih lengkap dengan pakain kebesasarannya, menuju ka taman seraya tidur di balai-balai. Istrinya Ni Gusti Ayu biang melihat hal itu, lalu segera memenggil anaknya Ni Diah Tantri seraya menyuruh menanyakan kepada ayahnya, mengapa ia bersedih. Ni Diah Tantri dengan senang hati mengikuti perkataan ibunya, seraya pergi ke taman .Ni Diah Tantri duduk didekat kaki ayahnya yang sedang merebahkan diri dibalai-balai. Ni Diah Tantri memgipasi, serta memijiti kaki ayahnya. Patih Bande Swarya segera bangun seraya memeluk anaknya dengan kasih sayang. Ni Diah Tantri menanyakan mengapa ayahnya bersedih. Patih Bande Swarya menceritakan semua perihal yang telah lalu,yang menyebabkan ia bersedih, sambil meneteskan air mata.

Ni Diah Tantri berdiam tunduk mendengarkan cerita ayahnya. Ia juga merasakan bagaimana sedih hati ayahnya sebagai patih yang patuh dan taat menjalankan perintah raja. Diah Tantri lalu menyuruh ayahnya untuk menghaturkan dirinya sendiri. Patih lalu mengadakan pembicaraan dengan istrinya, mengenai anaknya yang akan diaturkan ke istana besok. Setelah mendapat persetujuan besoknya Ni Diah Tantri diajak menghadap ke istana. Sang Prabu Esuaryadala amat bersuka cita, karena cita-citanya telah tercapai untuk mempersunting Diah Tantri yang dari lama menjadi idamannya.

Setelah matahari terbenam .lampu istana sudah dinyalakan, bau bunga memenuhi ruangan menambah keindahan istana. Sang Raja pergi ketempat peraduan disetai Ni Diah Tantri dan seorang dayangnya. Sang raja menelentangkan badannya diatas kasur seraya menyuruh Ni Diah tantri memijiti kaki. Ni Diah Tantri mengikuti perintah sang raja. Setelah larut malam Ni Diah Tantri merasa amat kantuk, matanya rasanya amat berat untuk dibuka. Ni Diah Tantri lalu menyuruh dayangnya mengecilan nyala lampu serta menyuruh dayangnya bercerita untuk menghilangkan kantuk. Dayangnya mengatakan bahwa dirinya tidak bisa bercerita, tapi amat senang kalau mendengarkan cerita. Dayangnya memohon supaya Ni Diah Tantri bercerita sendiri. Ni Diah Tantri pun lalu bercerita sebagai berikut

Asupundung

Posted: April 20, 2011 in Uncategorized

PRAKTIK perkawinan asupundung menyisakan masalah. Perkawinan adat ini menodai spirit martabat keadilan kaum perempuan. Sanksi yang dipikul perempuan pelaku perkawinan ini tidak manusiawi.

Masyarakat adat Bali melukiskan perkawinan asupundung sebagai salah satu bentuk perkawinan beda wangsa. Sebagai misal, ada perempuan wangsa brahmana kawin dengan lelaki wangsa ksatriya. Ini tergolong perkawinan asupundung. “Kecuali jika perempuan brahmana kawin dengan kstariya dalem. Ini masih ditolerir,” jelas Ida Ayu Sadnyini, S.H., M.H. saat memaparkan isi bukunya bertitel  “Menguak Perkawinan Asupundung Dalam Hukum Adat Bali” di Kampus Undiknas University Denpasar belum lama ini.

Perkawinan asupundung dilakoni sementara warga Bali sejak zaman kerajaan. Bentuk perkawinan ini muncul dalam suasana mengerasnya sistem kewangsaan tempo itu. Stratifikasi tradisional ini melarang praktik perkawinan asupundung. Seorang perempuan brahmana dilarang keras berumahtangga dengan lelaki bukan wangsanya. “Lelaki bukan wangsa brahmana yang dimaksud, adalah wangsa ksatriya, wesya, dan sudra, kecuali ksatriya dalem,” jelasnya.

Selain hanya dibolehkan kawin dengan lelaki wangsa brahmana, perempuan berdarah brahmana juga diizinkan kawin dengan lelaki ksatriya dalem. Golongan ksatriya dalem berasal dari trah Kerajaan Bali zaman dulu yang berpusat di Klungkung.

Sistem kewangsaan memang mengemuka dalam kehidupan masyarakat Bali zaman dulu. Istilah wangsa ini populer disebut juga kasta. Masyarakat Bali juga menyebut maksud yang sama dengan istilah warna, soroh, dan tegak atau linggih. Selain wangsa brahmana, ada wangsa kstariya, wesya, dan sudra. Empat wangsa ini dikenal sebagai catur wangsa. Sementara triwangsa menunjuk wangsa brahmana, ksatriya, dan sudra. Sistem stratifikasi sosial itu membawa implikasi serius dalam hukum perkawinan adatnya. Kaum perempuan terutama menjadi sasaran tembak ketidakadilan. Perempuan triwangsa tidak boleh kawin dengan lelaki wangsa sudra. “Perkawinan asupundung  dinobatkan jika perempuan triwangsa kawin dengan lelaki sudra,” ujarnya.

Sebuah perkawinan tergolong asupundung juga jika perempuan brahmana kawin dengan lelaki ksatriya maupun wesya. Tetapi, istilah lain yang maknanya serupa juga dikenal untuk melukiskan bentuk perkawinan adat ini. Ada kalangan masyarakat adat Bali yang menyebutnya dengan istilah lain, seperti perkawinan nyerod atau terpeleset, perkawinan ulung atau jatuh, dan perkawinan hanyud  alias dibawa arus.

Perkawinan asupundung  dinilai bukan hanya menyudutkan hak kemanusiaan kaum perempuan berdarah wangsa bukan brahmana. Terminologi asupundung pun dinilai tidak menghargai martabat kemanusiaan. Dayu Sadnyini, panggilan akrab akademisi FH Undiknas Univesity ini, mengutip penjelasan terminologis Jiwa Atmadja. “Asupundung pun disebutkan Jiwa Atmadja sebagai asumundung. Makna harfiahnya, menggendong (mundung atau pundung) anjing (asu). Tetapi, istilah ini sebenarnya hendak menggambarkan hubungan perkawinan seorang perempuan triwangsa dengan lelaki sudra sebagai golongan yang diklaim tidak berkasta tinggi. Lelaki sudra yang memperistrinya diibaratkan seekor anjing. Ini bukti betapa kerasnya larangan terhadap praktik perkawinan beda wangsa zaman kerajaan Bali dulu, khususnya perkawinan perempuan triwangsa dengan lelaki sudra,” jelasnya.

Hak kemanusiaan perempuan memang dilukai ancaman sanksi adat jika melakoni perkawinan asupundung. Sanksi adat terberat ditimpakan zaman kerajaan berbentuk hukum mati.

Wayang Wong

Posted: November 24, 2010 in Culture

Bali is a special place which has so many unique culture. They can show how beautiful Bali is. It is also the largest tourist destination in the country and is renowned for its highly developed arts, including dance, sculpture, painting, leather, metalworking and music. One of those culture which is very unique is wayang wong. According to the article the History of Wayang Wong by Sidarta Wijaya on Tuesday, 25 September 2007, Wayang wong at the first was known by people in Klungkung Regency. It was started when the king of Klungkung, I Dewa Agung Sakti would like to watch a dance. He ordered a dance that can show the story of Ramayana. He took thirty people and divided them into two groups. A half of them acted as Rama’s army and the rest as Rahwana’s army. Because they acted as monkeys and giants, they had to use mask in order can act them well and look like the real story. The clothing worn by the monkeys was made from plant fibres (prasok) to stimulate fur. In that time, this dance was called barong kedingkling or barong blasan. This Barong became very popular not only in the palace but also in the village especially when performed on the holiday. The performers in monkey masks and costume would enters the village and go from house to house, clowning and entertaining the people as they went, the villager donated some money, a coconut or other kitchen utensil. The simians would even climb the coconut trees and fetch the donation themselves. These performances were always greeted with great enthusiasm by the villagers for reason other than mere enjoyment and entertaining spectacle. The society believes that barong kedingkling was so sacred. They believe when barong kedingkling visited their environment all of their coconut trees would bear more fruit and that squirrels that usually destroy the coconut crops would be driven away. And moreover the villages were visited by barong kedingkiling did not need to do caru ceremony again because barong kedingkling could drive out the evil spirit. So, if the barong kedingkling is performed the other ceremonies are not necessary. In development of this dance, the son of the king of Klungkung, I Dewa Agung Gede had an idea to add some figures more like Rama, Sita, Rahwana, Laksamana and Wibisana. Starting from that barong kedingkling is called wayang wong. Wayang means shadow and wong means man. It is kind of dance that usually perform like wayang kulit(shadow puppet). Even this dance is absolutely unique and popular, but it has started to extinct nowadays. One of village which still survives wayang wong is Tejakula. This is very unique problem because the history takes place and where it can be preserved is so different place.

Klungkung is one of regency of Bali located in the eastern of Bali. And Tejakula is one village that located in the northern of Bali. This is really long distance. Nowadays, Klungkung never perform wayang wong since the history happened. They tend to choose the other kind of dances such as, telek, barong, jauk, and all modern dances. The most famous is barong. Klungkung used to perform all kinds of barong, like barong kedingkling, barong ketet and barong macan, barong landung. But now barong that still exists is barong ketet because it is the easiest barong to be performed. This case can relate to the extinction of wayang wong is. Wayang wong is very difficult to be performed because the steps are very complicated. The society of Klungkung tends to preserve all kinds of dances which a little bit easier to be learned. In Tejakula wayang wong is very strong. The society of Tejakula can preserve it in unique ways.

The Tejakula troupe is renowned as one of the island’s most unique, and there are four main ways in which the Tejakula wayang wong differs from that of others areas. Firstly, in Tejakula, the style of wayang wong performance is classical, for its basic dance steps are the same as the dance steps for the Gambuh the most refined and complex of Balinese dace dramas. Thus, the Tejakula wayang wong is a popular subject of research among the scholars, both Indonesian and foreign, of performance art. And his forces, the preparation for war, the meeting between Rahwana and his troops, and finally, the war it self. And that is all. The audiences know off by heart, scene by scene, what going happen. But that goes not seem to deter them from turning up to watch the show every time there is a religious festival. Usually wayang wong dancers are descended from generations of dancers, and usually experience the urge to become active in the troupe as higher calling. By day, their vocations are varied – some are guides, some traders, some teachers, and the like. Some dancers however are not descended from dancers, but have taken a vow to help strengthen the troupe if they attain their ideals. One their ideals are attained, to be true to their vow, they turn to the troupe.

From that quotation is very clear about the differences of Tejakula and other villages in Bali when they perform wayang wong. The simplicity of dance steps of wayang wong in Tejakula can help the society of Tejakula village to preserve it. All members of Tejakula society are very easy to follow the steps because it is almost similar with steps of gambuh dance. They only need to dance in basic steps. They try to make it looks like a simple dance but still keep the message and its sacred. When they act as monkey they only need to dance like the real monkey. They only need to jump up or jump down. They do not need to step complicated. It is usually performed to show their respect of society in Tejakula to their ancestors. Wayang Wong is rarely performed because it can only be performed by special dancers. The dancers are chosen by local priests through a ritual. The dancers use masks which reflect characters in its story. In this dance, there are conversations among the characters. The difference between Mask Dance and Wayang Wong is about the story told. Unlike Mask Dance which mostly takes a story about history of a ceremony, wayang wong takes it story from the Babad just like wayang kulit. It also takes stories from the Ramayana and Mahabarata. Wayang Wong is rarely performed because it can only be performed by special dancers. The dancers are chosen by local priests through a ritual. Basically, there are two kinds of story of wayang wong, like wayang wong parwa and wayang wong ramayana. There is a significant difference between them. Wayang wong parwa adapts stories from the Mahabrata for the stage, and wayang wong which takes stories from the Ramayana. In wayang parwa all actors except for the clowns do not wear masks. In wayang wong Ramayana is generally known just a wayang wong hereas the wayang wong parwa is usually referred to as parwa. According to the Rector of the Yogyakarta, based Indonesian Arts Institute, Prof. Dr. Made Bandem, the Balinese wayang wong enveloped out of masked performances which existed in Bali prior to the arrival of Hinduism when masks were used as a tool with which to communicate with ancestors. The masks used to communicate with the ancestors could only be shown in public on certain days, or at religious rituals. In former times, the dancers would themselves with bark and their dance was a way of thanking ancestor for protecting them from plague. Wayang wong is believed to have emerged around the time of the waturenggong regime, between 1460-1550.